Seorang
gadis berdiri sendirian
didekat danau. Gadis
itu bernama Nadia.
Dia sedang merenungkan sesuatu.
Sesuatu yang membuatnya
dilanda kesedihan. Cinta
yang begitu tulus
dan setia dihianati
oleh seseorang yang
sangat dia sayangi.
Kejadian 6 bulan
yang lalu masih
saja terngiang. Menghantui pikiran
gadis berwajah oval
itu. Dan gara-gara
kejadian itu, lubang
hatinya sangat tertutup
rapat.
Sangat-sangat rapat. Sehingga dia tak lagi mengenal cinta dan sangat benci bila mendengar kata cowok apalagi bertemu. Penyakit hati yang menggrogoti hatinya telah membuat hatinya terlalu jauh. Dia tidak bisa lagi merasakan jatuh cinta, senang, bahagia, dan... kasih sayang. Dia merasa dunianya selalu hampa dan tak seorangpun mampu mengubahnya menjadi dulu. Dulu yang selalu ceria, dan tersenyum manis.
Sangat-sangat rapat. Sehingga dia tak lagi mengenal cinta dan sangat benci bila mendengar kata cowok apalagi bertemu. Penyakit hati yang menggrogoti hatinya telah membuat hatinya terlalu jauh. Dia tidak bisa lagi merasakan jatuh cinta, senang, bahagia, dan... kasih sayang. Dia merasa dunianya selalu hampa dan tak seorangpun mampu mengubahnya menjadi dulu. Dulu yang selalu ceria, dan tersenyum manis.
Hampir setiap
sore Nadia menghabiskan
waktu kosongnya di danau ini.
Sebuah danau kecil
di tengah taman sekolahannya.
Tempat dimana Nadia
mengeluarkan tangisannya tanpa
ada yang lihat.
Tempat ini memang
jarang sekali dikunjungi oleh
murid-murid. Karena terkenal
angkernya. Konon, dahulu
ada seorang murid
perempuan bunuh diri
di danau ini karena
pacarnya selingkuh. Kisahnya
seperti cerita cinta
Nadia. Tapi, Nadia
tak ingin melakukan
hal bodoh seperti
itu. Karena bagi
dia, hidup itu
sangat berarti walau
sakit.
Matanya yang
sebening embun memperhatikan
langit yang mulai
gelap. Segelap hatinya.
Dia jadi teringat
awal Sanni mengungkapkan
perasaanya ke Nadia. Di tempat
ini. Tempat favoritnya
yang menjadi saksi
dimana Nadia
menerima cinta Sanni
yang palsu.
“Jika
saat itu aku tak menerima cintamu, San.
Aku tak akan
seperti ini. Sakit, San... Sakit bila
aku teringat kenangan
kita disini,” ucapnya sambil
memegang dadanya yang
sakit. Lalu dilihatnya
danau yang kian
mengering. Dia melihat
bayangan membentuk wajah oval
mirip dengannya. Cantik,
dan senyuman yang
sangat manis. Namun perlahan bayangan wajah oval itu
berubah menjadi wajah yang sedih, dan senyuman manis itu hilang.
“Itu
bukan aku!!!” jeritnya sambil
melempar kerikil kedalam
danau, sehingga bayangan
tadi lenyap begitu
saja. “Ya Tuhan... Tolong...
Tolong aku... Aku nggak kuat menahan
rasa sakit ini...” lanjutnya sambil menahan
rasa sakit yang
menggrogoti hatinya.
Diliriknya jam
tangan yang melingkar
di pergelangan tangannya.
Jam sudah menunjuk
pukul 18.00 wib. Lalu
dilihat sekelilingnya. Lampu
sekolah sudah dinyalakan.
Langit menjadi gelap.
Baru kali ini
Nadia menghabiskan waktunya
di danau sampai sesore
ini. Cepat-cepat dia
meninggalkan danau yang
penuh misteri dan menyimpan
sejuta kenangan Nadia dengan cinta palsu Sanni.
Belum sempat
sampai gerbang sekolah.
Tiba-tiba Nadia merasakan
rasa perih didadanya.
Sangat perih. Sehingga
dia tak mampu lagi
untuk berjalan. Dilihat
sekelilingnya. Sangat sepi.
Tiba-tiba petir mengglegar.
Pertanda hujan akan
mengguyur. Nadia semakin
gelisah.
“Kenapa jadi gini
si..” keluhnya.
Rintik-rintik hujan mulai
berjatuhan dan semakin
deras. Nadia semakin
bingung dan takut.
Bingung mau melakukan
apa, karena kakinya
tak kuat melangkah,
tubuhnya terlalu lemah. Dan
takut tak ada
yang menolongnya. 5 menit, 25 menit, Nadia
masih terdiam dilapangan.
Membiarkan tubuhnya diguyur
oleh hujan yang
deras.
“Biarkan aku seperti
ini. Biarkan! Aku
tak mau merasakan
cinta dan kasih
sayang dari dunia
ini. Aku benci
semuanya! Benci!” gumamnya
penuh emosi. Tiba-tiba
Nadia mulai merasakan
pusing, bibirnya membiru,
dan badannya terasa
kaku. Tak sampai
semenit kemudian, bibirnya
mulai menggeletar. Tubuhnya
menggigil. Pandangannya mulai
buram. Samar-samar dari
kejauhan terlihat seorang
laki-laki berlari tepat
ke arah Nadia. Siapa
dia? Apakah aku harus
lari? Atau aku tetap
berdiri disini yang
hampir mati kedinginan. Pikirnya.
“Nadia..!!” teriak
laki-laki itu. Nadia
sempat mendengar teriakan
itu, namun tubuhnya
tak kuat lagi.
Nadia terjatuh. Dan
semuanya hitam… pekat.
***
Suara ribut sangat mengganggu
di gendang telinga Nadia. Dan sebuah cahaya terang benderang yang
menyilaukan membuat Nadia terjaga
dengan rasa pusing
yang berpendar hingga
ke mata. Lalu beberapa
suara menyerukan nama
Nadia. Setelah mengerjap
beberapa kali, akhirnya
mata Nadia dapat
melihat dengan jelas. Wajah-wajah yang
sangat ia kenal mengerubunginya. Kak Latif, mama,
dan sahabatnya Key.
“Gila ya kamu! Untung kakak mencarimu. Kalau tidak, apa
yang terjadi??!! Kasihan mama tau!” terdengar suara penuh emosi membuat
Nadia malas memandangnya. Kak Latif. “Dengerin kalo kakak ngomong, Nad!” teriaknya
kemudian ketika Nadia mengalihkan
pandangan dari kakaknya.
“Latif! Ini rumah sakit. Kecilkan suaramu.” bela mama
seraya membelai rambut Nadia.
“Nad? Kau baik-baik saja kan?” tanya Key khawatir.
“Iya nggak apa-apa kok,” jawabku tersenyum.
“Nggak apa-apa? Yang bener aja? Kau tadi hampir mati
kedinginan. Bilang terima kasih kek atau apa gitu.” Sewot Latif
“T e r i m a k a s
i h, kak…” ujar Nadia tak ikhlas. Terbersit sebuah senyuman diwajah kakaknya.
Lalu diacak-acaknya rambut Nadia dan pergi dengan ketawa kecil.
“DASAR KAK LATIFFF…!!!”
teriakan Nadia memenuhi ruangan yang ditempatinya. Pertanda Nadia sangat
kesal. Dengan sergap Latif menutup telinganya rapat-rapat. Lalu lari
sekencang-kencangnya sebelum Nadia membalas perbuatannya.
***
Nadia
menghela napas panjang. Hari ini adalah hari ke empat Nadia menjadi murid SMU setelah melewati MOS tiga hari berturut-turut yang
membuat Nadia pusing tujuh keliling.
“Mudah-mudahan aku bisa mendapat teman banyak. Amin” ujar
Nadia seraya melangkah kakinya menuju kelas.
Sesampai
dilorong kelas Nadia bertemu dengan seorang cowok yang sedang berjalan dengan
arah berlawanan. Badannya besar, tinggi, dan tegap. Seyumannnya sangat manis.
Dika namanya. Senior Nadia ketika MOS. Tanpa disadari, Nadia menatap Dika terus
menerus dan menabraknya. Buku yang dibawa Nadia berserakan dimana-mana.
“Aduh.
Kalo jalan liat-liat dong!” kesal Dika.
“Maap-maap,
kak. A a aku ti tidak sengaja” ucap
Nadia gagap sambil mengelus-elus keningnya yang sakit.
“Kau…”
“Hee…
iya, kak”
“Aduh…
gimana si, dek. Liatin kakak ya?” tebak Dika. Wajah Nadia memerah. Ketahuan.
“Ha?
Nggak kok, kak. Kurang kerjaan banget aku liatin, kakak,” umpatnya.
“Bener?”
Dika tersenyum. Kesempatan Nadia untuk melihat senyuman Dika yang manis dengan
jarak dekat. Jantung Nadia jadi
nggak karuan.
“Iya.
Eh, duluan ya, kak. Bel udah bunyi,” ujar Nadia setelah bel masuk berbunyi.
Dengan cepat Nadia mengambil buku-bukunya yang berserakan. Dika membantunya.
Dan tanpa disadari, tangan mereka bersentuhan ketika mereka mau mengambil buku
berwarna biru milik Nadia. Keduanya jadi salah tingkah.
“Maap,
dek. Nggak sengaja, he,” ucap Dika mesam-mesem. Nadia yang melihatnya tersenyum
geli.
“Iya
kak, nggak apa-apa. Terima kasih udah bantuin ya, kak” ujar Nadia tersenyum.
Lalu pergi menuju ke kelasnya.
***
Nadia
melamun di jendela kamarnya. Langit malam itu sangat cerah dengan dihiasi bintang-bintang
yang berkelap-kelip, dan membentuk sebuah lengkung menyerupai mulut yang
tersenyum lebar di atas sana.
Melihat
lengkung itu, Nadia jadi teringat kejadian tadi pagi di lorong kelas. Senyuman
yang sangat indah. Tiba-tiba jantung Nadia berdetak lebih kencang dari
sebelumnya. Ada apa gerangan? Apakah Nadia telah merasakan jatuh cinta lagi?
“Kok
aku jadi deg-degan gini, ya? Dan… kenapa malam ini aku merasa sangat bahagia?
Apa aku suka kak Dika? Ah, nggak mungkin,” gumam Nadia.
“Nadia??”
Sebuah
suara mengejutkan Nadia. Nadia sampai
terlonjak saking kagetnya. Dengan cepat ia menoleh ke arah suara tersebut.
“Kak
Radit! Ngagetin aja si.” Kesal Nadia.
Radit
adalah senior Nadia ketika MOS juga. Namun, Nadia sudah mengenalinya sejak
kelas enam SD dari kakaknya. Orangnya sangat pintar, cakep, dan berbadan ideal.
Nadia pernah menyukainya selama 4 tahun. Namun, rasa suka itu segera ditepisnya
karena ia merasa bahwa rasa suka itu tak akan pernah diketahui oleh Radit.
Sebaliknya,
Radit sangat ingin memiliki Nadia dari dulu. Apalagi sekarang Nadia jomblo.
Kesempatan bagi Radit. Tapi, ia tak berani ngungkapin perasaanya ke Nadia.
“Maap…”
ampunnya. “Lagi melamun siapa hayo?
Kakak ya?” lanjutnya.
“Kakak?
Nggak,” jawab Nadia cuek.
“Terus
siapa?” Radit kecewa mendengar jawaban Nadia.
“Kasih
tau nggak, ya?” Nadia pura-pura berpikir.
“Kasih
tau donk.” Ucap Radit sambil menatap lekat wajah yang sangat disayanginya itu.
“Kak
Dika. Hehe…” akhirnya Nadia memberi tau.
Mendadak
Radit merasakan sakit dihatinya. Dia sangat kecewa dengan jawaban Nadia. Lalu
pergi meninggalkan Nadia yang masih senyam-senyum di jendela.
Nadia
membalikkan badannya. Ia sangat bingung dengan tingkah laku Radit. Nadia
mencoba megejar Radit. Namun langkahnya terhenti setelah sampai di tengah
pintu. Ia merasa ada yang salah dengan perkataanya tadi.
***
Nadia
melangkah gontai menuju rumah makan. Kejadian tadi malam sangat mengganjal
dihati Nadia.
Kakaknya,
Latif yang sedari tadi melihatnya dari dapur segera menghampiri Nadia yang
sudah duduk lemas di ruang makan.
“Pagi-pagi
kok lemes,” ujar Latif seraya mengambil roti dan selai untuk Nadia.
Nadia
tak menjawab. Hanya senyuman jawabannya.
“Tadi
malam Radit cerita nggak?” tanya Latif.
Nadia
bangkit. Dikerutkan keningnya. Ia tak paham dengan pertanyaan kakaknya.
“Cerita
nggak? Tadi malam dia kesini mau ngasih tau kalau yang nolongin kau pingsan
dilapangan itu, dia,” jelasnya.
Nadia
tersentak. “Jadi… kakak bohong. Dan sebenarnya yang nolongi aku itu kak Radit.
Iya, kak?” Nadia mencoba meyakinkannya.
“Iya.”
Jawab Latif singkat.
***
Nadia
berlarian di lorong kelas. Mencari Radit. Berharap dia bisa menemukannya dan
ingin minta maap atas ucapannya tadi malam. Tapi, Nadia malah menemukan
seseorang yang didambanya itu. Dika.
Langkahnya
terhenti dengan nafas tak terkendali. Nadia melihat Dika berjalan
menghampirinya dengan senyum manisnya. Jantungnya bedebar-debar. Nadia terus
menatap Dika dengan sejuta harapan.
“Pangeranku…
terima kasih telah membuat lubang hatiku kembali terbuka. Karena kau, aku bisa
merasakan jatuh cinta lagi,” gumam Nadia dalam hati.
“Halo?”
sapa Dika sambil melambai-lambaikan tangannya tepat didepan hidung Nadia.
Nadia
gelagapan. Wajahnya memerah karena kepergok sedari tadi menatap Radit. Sudah
sepastinya wajah Nadia seperti kepiting rebus. Nadia malu sekali. Ingin sekali
Nadia melipat-lipat malunya dan dimasukkan kedalam saku bila malu itu sebuah
kertas. Tapi itu hanya khayalan Nadia. Buru-buru ia memalingkan wajahnya.
Dari
kejauhan ada seorang cewek berlarian menuju Dika. Dan tiba-tiba memeluk Dika
dari belakang, lalu memanggilnya dengan sebutan “sayang”.
Nadia
tersentak. Ia sangat bingung sekali.
“Pacar kak Dika?” tanya Nadia dengan tampang bodoh.
Sentak
Dika ketawa kecil. “Hahaha… kok adek baru tau? Ini kak Leil. Iya ini pacar
kakak. Baru 4 hari kok, dek. Kan, jadiannya itu ketika MOS berakhir. Adek nggak
liat?”
Nadia
merasa sangat sangat bodoh. Ia teringat hari terakhir MOS. Dika nembak Leil
ditengah lapangan dibantu dengan teman-teman seniornya.
“Oh…”
Nadia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya
udah. Kakak ke kantin dulu ya,” ujar Dika seraya menggandeng tangan Leil,
pacarnya.
Nadia
menatap Dika yang sedang menggandeng tangan seorang cewek yang sekarang jadi
kekasihnya itu. Sangat romantis. Dan hatinya seperti terkena ribuan duri.
Sangat perih. Sangat sangat perih. Lalu Nadia memalingkan pandangannya dan lari
menuju taman sekolah.
Dari
kejauhan Radit melihat kejadian itu. Lalu mengikuti langkah Nadia yang menuju
ke taman sekolah. Langkahnya terhenti sejenak setelah sampai di taman sekolah.
Didapatinya seseorang yang sangat ia sayangi sedang menangis entah karena
siapa.
Nadia
merasa dirinya dibohongi oleh perasaannya. Selama ini bukan Dika yang
membuatnya bahagia. Lalu siapa?
“Seharusnya
ku tak disini. Dan tak akan bertemu denganmu apalagi mengenalmu, kak. Aku kira
kakak…” suara Nadia terhenti karena tangisannya yang semakin menjadi. Tiba-tiba
tangannya mengepal dan ingin sekali menghantam sebuah pohon yang ada
didepannya.
Dengan
lembut Radit memegang tangan Nadia dari belakang. Lalu memeluk Nadia.
“Kau
salah, Nadia. Bukan dia. Bukan dia yang membuka lubang hatimu,” ujar Radit.
Nadia
melepas pelukan Radit. Ditatapnya seorang yang disukainya selama 4 tahun itu.
Ia tak mengerti apa yang dimaksud kata-kata barusan yang Radit katakan.
“Nad.
Bukan dia harapanmu. Dia tak pantas untuk dimiliki. Tapi aku.” Tatapan Radit
sangat serius. “Apa kau tau? Aku
menyukaimu selama ini. Tapi kau tak pernah menyangkanya. Apa kau tau? Dimanapun
kau berada, aku ada disana, Nad. Disaat kau hampir mati kedinginan aku ada
disana. Dan ketika kau jatuh, akulah yang menolongmu,” ucap Radit
sungguh-sungguh.
Masih
dalam keadaan menatap Radit. Nadia mendengarkan kalimat-kalimat itu dengan
serius. Hatinya merasa sangat tersentuh dengan kalimat-kalimat yang Radit
ucapkan. Ribuan duri yang tertancap
dihati Nadia berubah menjadi taman yang penuh dengan bunga kebahagiaan.
Tiba-tiba
rasa rindu yang sudah lama Nadia pendam masuk dibenak Nadia tanpa pemirsi
masuk. Ia merindukan sesosok Radit. Awal ketemu Radit dan awal menyukainya.
Ternyata selama ini Nadia salah nebak. Rasa suka yang pernah ia rasakan selama
4 tahun ternyata tak sia-sia.
“Kak
Radit?” panggilnya lembut. Air mata sebening embun menetes dipelipisnya. “Maafkan aku,” lanjutnya.
Radit
menghusap air mata Nadia. Lalu dipeluknya lagi. “Sekarang. Detik ini. Akulah
berhak yang memasuki hatimu,” ujar Radit tersenyum.
Nadia
tersenyum dalam pelukan Radit. Rasa senang, bahagia, dan jatuh cinta telah
kembali dalam benak Nadia.
Terima kasih cinta. Engkau datang tak terduga.
Akhirnya ku bisa menghirup rasanya jatuh cinta. Sangat indah. Dan cinta itu
datang pada seseorang yang aku sukai selama 4 tahun terakhir. Radit. Semoga aku bisa memiliki
cintamu selamanya. Gumamnya
“Boleh,
kan? Ku memilikimu?” tanya Radit setelah melepas pelukannya.
“Iya,
kak Radit,” jawab Nadia tersenyum bahagia.
Keduanya
saling menatap. Tersenyum. Dan harumnya cinta menghiasi diantara keduanya.
0 komentar:
Posting Komentar